Review Buku: Berawal Dari Tanah (Pinky Chrysantini)

                                                                              

Judul Buku: Berawal dari Tanah (Melihat Ke Dalam Aksi Kependudukan Tanah)

Pengarang: Pinky Chrysantini

Penerbit: Akatiga

Tahun Terbit: 2007

Tebal: 146 Halaman

 

Buku ini ingin melihat bagaimana represi serta intervensi politik-ekonomi rezim orde baru di daerah pedesaan yang mengakibatkan sejumlah perubahan mendasar dalam pembentukan corak produksi dan dinamika aksi politik pada era reformasi. Dalam pengantar diterangkan bahwa pada tahun 1970-an, rezim melakukan strukturisasi di bidang sosial-politik (menertibkan secara administratif) dan bidang ekonomi (teknologi, infrastruktur, dan instansi penopang produksi) guna pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Untuk mengoptimalkan upaya itu, elite desa diinkorporasikan sebagai perpanjangan tangan rezim demi mempertahankan status quo kekuasaan.

Berkembangnya pembangunan dan sarana prasarana transportasi kala itu membuka pintu amat luas antara kota dan desa. Dalam situasi demikian pula elit desa mendominasi hingga terjadi ketimpangan dan menciptakan warga desa beralih pada kerja non-pertanian. Pendidikan, pengalaman kerja di bidang non pertanian, dan perjumpaan dengan kebudayaan kota akhirnya mengubah aspirasi penduduk desa. Sementara, penduduk kota kian memperluas pemukiman karena meningkatnya populasi serta berkembangnya investasi asing di bidang industri, pertambangan, bisnis perkebunan, dan kehutanan, sehingga menyebabkan tata guna lahan di desa ter(di)paksa harus direkonstrukturisasi.

Ketika krisis moneter terjadi sewaktu rezim Pak Harto berkuasa, lahirlah gerakan petani yang cenderung menghembuskan wacana dengan judul, reclaim tanah, saat menuju era roformasi. Namun perspektif yang menarik dari penelitian yang dilakukan oleh Pinky, mengungkapkan bahwa mereka yang telah berhasil menduduki tanah reclaim, yang direbut dengan perjuangan pelik (masuk ke era reformasi), ternyata malah menyewakan tanahnya kepada kontraktor tebu setempat. Lalu, uang sewa tersebutpun dipakai pula untuk membangun rumah dengan gaya rumah di perkotaan, beli sepeda motor (simbol kemajuan), dll yang mengarah pada tren metropolitan. Itu artinya, pendapatan sewa yang didapatkan masyarakat tendensius ditujukan pada kegiatan-kegiatan non pertanian.

Petani yang terhegemoni cara hidup kota akhirnya hanya mendapat penghasilan yang kecil sebagai buruh tebu dan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dominan ditopang oleh hutang. Alhasil, tanah yang sebelumnya disewakan akhirnya dijual pada golongan kaya. Disinilah retribusi sebagai hasil perjuagan tersebut tidak lagi berujung pada kesejahteraan, melainkan kembali melahirkan kesenjangan. Tindakan inilah yang menjadi pertanyaan besar atas perjuangan yang ditempuh untuk mendapatkan tanah, serta pengorbanan harta benda hingga nyawa. Lantas, apa makna tanah bagi petani saat itu? Terkait soal itulah buku ini ingin berupaya menelisik hubungan manusia dengan tanah lewat aksi kependudukan tanah dan perlakuan terhadap tanah setelahnya.

Adapun pedekatan yang dilakukan pada penelitiannya tidak secara struktural (cenderung menyeragamkan masyarakat), melainkan pedekatan pada komponen gerakan rakyat itu sendiri yang mengalami dinamika pada tiap aksi kolektif yang dilakukan secara massif. Secara umum, Pinky memakai pandangan bahwa pola gerakan saat itu menjadi dua; pertama, land reform by grace, dimana penataan tanah berdasarkan kedermawanan pemerintah. Pola ini sangat rentan terhadap perubahan sistem politik dan pergantian kekuasaan. Terbukti pada periode Soeharto berkuasa sehingga muncul istilah land reform by leverage, yakni penataan yang dilakukan sendiri oleh rakyat, yang dalam organisasi dibentuknya mampu memiliki posisi tawar kepada pemerintah.

Sejarah dan Problem

Pinky melakukan penelitian di Dusun Keprasan, Desa Gendis, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Mengenai profil dusun, pada tahun 2005 wilayah Dusun Keprasan diselimuti oleh hamparan tata niaga tebu yang didominasi oleh pabrik gula. Sedangkan 40 tahun yang lalu, tahun 1965, tempat tersebut dikuasai oleh perkebunan kopi dan cengkeh NV Kelud. Artinya ada pergeseran corak produksi yang terjadi, namun yang menjadi soal ialah tidak terjadi perubahan aktor penguasaan, yakni tetap dikuasai oleh pengusaha. Lantas, kenapa hal tersebut bisa terjadi? Inilah yang menjadi rumusan masalah dan menuntut jawaban dari sejarah sepak terjang rakyat di Dusun Keprasan.

Sejarah asal-muasal kepemilikan tanah di Keprasan memiliki 2 versi, yakni pertama, tanah garapan warga yang diperoleh dari membuka hutan pada sekitar tahun 1940-1942. Lalu, tanah tersebut ditanami tanaman jarak dan jagung atas instruksi pemerintah Jepang yang saat itu berkuasa. Kedua, tanah tersebut ialah tanah peninggalan Jepang yang ditelantarkan kemudian dibabat oleh rakyat. Kemudian terjadi agresi militer sehingga tahun 1949 warga kembali ke dusun dan juga pendatang baru.

Perkebunan milik Belanda NV Gunung kelud yang memproduksi karet dan kopi sendiri baru resmi berdiri tahun 1957. Sebelum dinasionalisasi pemerintahan, perkebunan ini dimiliki Mirandolle. Adapun perjanjian tersebut berlaku hingga tahun 1964 dengan hak guna usaha 898,718 hektare. Tahun 1965, tatanan kepemilikan berubah drastis. Luasnya menjadi 1.667.285 m2. Disinyalir berdasar pada beberapa dokumen, cara untuk mendapatkan luas tersebut dilakukan dengan merampas meski secara tertulis di perjanjian terdapat kesepakatan dari masyarakat. Warga mengaku mereka disuruh menjongkok dan menutup mata oleh koramil dan dengan todongan senjata mengajukan sebuah pilihan, berat kepada nyawa atau berat kepada tanah? Jadi rakyat bukan sepakat melainkan dipaksa untuk sepakat!

Sampai pada tahun 1989 tanah tersebut tidak kunjung kembali kepada rakyat melainkan diperpanjang hingga tahun 2015. Namun tanggal 2 Juli 1998, 700 warga mengajukan tuntutan ke kantor perkebunan dengan luas tanah 168 hektare. Setahun berjuang, tanggal 20 Oktober 1999 warga berhasil memperoleh kembali tanahnya seluas 212 hektare. Hingga akhirnya tahun 2001 tanaman tebu diperkenalkan oleh juragan tebu kepada masyarakat Keprasan yang nantinya akan di jual ke pabrik gula.

Awal berkembangnya rencana menuntut tanah dimulai tahun 1998 oleh pak Haryo dan pak Manto yang membawa kabar akan upaya aksi kependudukan di dusun lain kepada Giman, Darsono, dan Parman, dll untuk melakukan tuntutan yang sama. Kemudian mereka membentuk tim 6 yang akhirnya bertemu dengan Amin Rais sebagai salah satu ektor politik nasional penghembus gagasan reformasi kala itu. Namun, Darto dan Giman sebagai utusan tim 6 tidak berhasil bertemu Amin dan akhirnya berjumpa dengan kesatuan mahasiswa Blitar yang sebagian ialah relawan LBH Yogyakarta. Kemudian mahasiswa mengarahkan warga untuk bertemu dengan LBH bandung yang menghasilkan sebuah aliansi bernama AMPIBI pada 2 Juli 1998.

Setelah tuntutan telah terjawab dengan memperoleh tanah seluas 212 hektare, masyarakat membaginya berdasarkan kepentingan sosial. Artinya pembagian tanah tidak lagi berdasarkan era sesepu melainkan berdasarkan jumlah KK yang ada pada dusun tersebut. Giman, Darsono, dan Parman pula ke depan terpilih sebagai panitia sertifikasi sekaligus pamong Desa yang dipilih secara musyawarah. Namun seiring berjalan waktu, mereka diturunkan oleh masyarakat karena adanya tindak penyelewengan 613,14 hektare yang di dalamnya termuat hubungan antara pamong dan pabrik gula yang mendapat 100 hetare. Soal itulah yang memicu terjadinya konflik horizontal dan memecah arah pergerakan,yang kemudian tidak mampu diorganisir dengan baik kepala desa baru. Situasi demikian membuat kehidupan di Dusun Keprasan kembali lagi berada dalam cengkraman investasi oleh perusahaan. Sekian garis besar apa yang dipaparkan dalam buku yang dituliskan oleh Pinky.

Adapun kelebihan buku ini cukup mudah dicerna untuk setiap kalangan yang ingin mempelajari soal agraria secara spesifik pada satu contoh kasus. Selain itu, perpektif yang diambil juga menarik karena langsung menjurus pada analisis aktor yang bermain dipusaran konflik. Data-data yang dipaparkan lengkap. Fakta-fakta yang diuraikan dalam bahasa deskriptif juga menarik. Namun, kekurangannya karena tidak memakai pendekatan struktural, variabel peran negara ketika masa reformasi berlangsung menjadi tidak tampak. Sekian, selamat membaca. Salam (GWS).