Review Buku: Metodologi Studi Agraria, (Gunawan Wiradi)

penerbit : Sajogyo Institute dan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor

tebal : 348 halaman

Masalah agraria yang merupakan masalah mendasar, rumit, dan sangat kompleks. Untuk memahami masalah yang rumit tersebut, maka diperlukan suatu penelitian ilmiah, serius, cermat, menyeluruh, dan dapat dipertanggungjawabkan. Gunawan Wiradi, seorang pakar agraria menulis sebuah buku “Metode Studi Agraria”. Ia mengharapkan agar generasi muda dapat tergerak untuk menekuni studi agraria dan menghasilkan penelitian-penelitian dan karya ilmiah yang dapat mengisi “ruang kosong” yang masih menantikan jawaban-jawabannya. Hal ini penting bagi upaya-upaya penyelesaian dan penanganan berbagai permasalahan agraria di tanah air.

Pada  bagian pertama buku ini, Wiradi menerangkan tentang dasar-dasar metodologi penelitian. Di Bab pertama, secara ringkas dijelaskan tentang konsepsi tentang ilmu dan hakikat penelitian sebagai kegiatan ilmiah. Bahwa di kalangan ilmuwan, terdapat prinsip-prinsip dasar sebagai pegangan dalam bersikap ilmiah, seperti objektivitas, netralistik etik dan bebas nilai, relativisme, parsimony, skeptisme, dan kerendahan hati. Selain itu dalam bab 1 tersebut juga menjelaskan persfektif ilmu-ilmu sosial dan cabang-cabangnya serta penelitian sebagai suatu kegiatan ilmiah. Yang mana penelitian berfungsi sebagai sarana untuk membangun teori, hukum, dan sebagainya  serta merupakan rangkaian kegiatan pengumpulan bahan, pengamatan terhadap realitas, dan analisa terhadap bahan dan hasil pengamatan tersebut. Di dalam penelitian ilmiah, terdapat unsur-unsur dasar metode ilmiah, seperti sebuah pepatah dalam bahasa latin menyatakan, “Tantum valet auctoritas, quantum valet argumentatio” yang berarti “Wibawa seorang ilmuan itu, terletak pada mutu penalarannya”. Unsur-unsur dasar metode ilmiah mencakup pemahaman fakta, konsep, istilah, dan defenisi, kemudian proposisi, dan selanjutnya adalah hipotesa dan teori.

Di bab kedua, buku ini menjelaskan beberapa isu metodologis dalam penelitian. Masalah metodologi penelitian merupakan salah satu di antara enam “soko guru” atau tiang penyangga kegiatan keilmuan. Sedangkan 5 soko guru yang lain adalah objek telaah, paradigma, konsep/teori, perbendaharaan istilah, dan penganut. Dalam perkembangan metodologi, ada 3 jalur yaitu perkembangan dari pendekatan mono-disiplin menjadi multi-disiplin, berlanjut menjadi antar/inter-disiplin dan berujung pada trans-disiplin. Kemudian perkembangan yang terjadi setelah mempertentangkan antara penelitian akademik dengan praktik “turis abidin” (penelitian yang bergaya “turis, atau biaya dinas”) yang kemudian melahirkan model RRA (Rapid Rural Appraisal). Dan perkembangan dari pendekatan “positivis-obyektifisme” menjadi pendekatan partisipatif, inilah kemudian yang melahirkan PRA (Partisipatory Rural Appraisal).

RRA adalah kegiatan mempelajari kegiatan pedesaan secara intensif, berulang, eksploratif, dan cepat, yang dilakukan oleh sekelompok kecil peneliti yang menggunakan sejumlah metode, alat, dan teknik yang dipilih secara khusus untuk meningkatkan pemahaman terhadap keadaan pedesaan, dengan tekanan utama pada bagian penggalian pengetahuan penduduk setempat dan digabungkan dengan ilmu pengetahuan modern. RRA timbul sebagai akibat dari usaha mencari metode yang sesuai untuk memahami masyarakat pedesaan, khususnya jika yang dikehendaki adalah informasi yang akan dipakai oleh para penentu kebijakan dalam waktu singkat. Dengan kata lain RRA adalah studi yang berkiblat pada penunjang perumusan kebijakan (policy oriented).

Sedangkan PRA pada dasarnya terdapat tiga bagian, yaitu, penelitian akademik-konvensional, penelitian policy oriented, dan penelitian parsipatoris. PRA adalah suatu proses memahami keadaan masyarakat secara intensif, sistematis tetapi semi-terstruktur, yang dilaksanakan dalam suatu komunitas oleh “tim” antar disiplin yang juga mencakup para anggota komunitas itu sendiri. PRA menuntut adanya sikap (dari peneliti profesional) yang mendukung partisipasi, menghargai anggota-anggota masyarakat, pengertian terhadap apa-apa yang anggota masyarakat lakukan, perlihatkan, dan perbuat. Kemudian harus bersikap sabar, tidak menggurui, lebih banyak mendengar, rendah hati, dan memiliki cara-cara memberdayakan anggota-anggota komunitas untuk menyatakan, berbagi, meningkatkan, dan menganalisa pengetahuan mereka.

Setelah mengurai terkait metodologi, bahwa metode penelitian adalah seperangkat langkah-langkah teknis yang tersusun secara sistematis dan logis serta terkerangka atas dasar prinsip-prinsip ilmiah, untuk melakukan penelitian. Pada bab ketiga buku metodologi studi agraria menjelaskan terkait metode pengumpulan data. Pengumpulan data merupakan aspek yang terpenting dalam metode penelitian. Data mempunyai jenisnya dan bagaimana cara memperolehnya. Jenis data tersebut seperti informasi yang dapat diukur dan dikuantifikasi (kuantitatif, yang berupa angka-angka). Kemudian informasi mengenai gambaran tentang suatu kejadian, peristiwa, ataupun suatu proses. Informasi mengenai adat-istiadat, nilai budaya, norma-norma yang berlaku dan informasi mengenai sejarah. Kemudian terdapat juga data primer yang berasal dari pengamatan, wawancara dan hasil pengukuran yang peneliti lakukan sendiri dan data skunder yang merupakan data yang sudah dikumpulkan dan diolah oleh pihak lain. Pada bab ini juga dijelaskan panduan umum kerja-lapangan (field work) yang dibagi menjadi panduan sebelum turun ke lapang, saat di lapang, dan panduan membuat catatan. Sebelum turun ke lapang, peneliti harus memiliki persiapan mental dan teknis (operasional dan material). Untuk panduan saat di lapangan, penulis menjelaskan pengalamannya bahwa sebelum memulai penelitian, yang pertama kali perlu dilakukan adalah membuat group interview yang pesertanya melibatkan banyak pihak seperti petani, buruh tani, pedagang, pejabat desa, tokoh masyarakat, perempuan, dan lain-lain. Tujuannya adalah untuk mengenali secara umum keadaan masyarakat setempat terkait istilah-istilah lokal, ukuran-ukuran lokal, macam-macam kelembagaan lokal, berbagai organisasi yang ada, dan lain sebagainya.

Dalam penelitian ilmu-ilmu sosial, sebagian besar data peneliti peroleh melalui wawancara. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi arus informasi timbal balik dapat berfungsi dan berjalan dengan baik, yaitu, pewawancara sendiri, responden/informan, isi pertanyaan, dan situasi selama wawancara. Selain wawancara, data juga diperoleh melalui informasi lain seperti data monografi desa dan dokumen-dokumen lainnya. Mengabaikan informasi yang berasal dari kantor desa adalah suatu hal yang keliru, sebaliknya, menggunakan begitu saja secara “buta” data tersebut juga merupakan langkah yang salah. Dalam mengumpulkan data, tentu hal ini tidak terlepas dari pendekatan yang dilakukan dalam penelitian, apakah pendekatan kualitatif, atau pendekatan kuantitatif. Selain itu dalam bab 3 juga menerangkan tentang pengamatan berperan serta atau participant observation yang merupakan suatu metode penggalian data primer dengan cara mengadakan kontak yang lama, intensif, dan bervariasi dengan orang-orang lain dan pendapat-pendapat mereka. Data yang diperoleh dengan metode participant observation adalah data-data terkait, gambaran deskriptif tentang lingkungan alamiah, data tentang hubungan-hubungan sosial, data tentang sejarah setempat, data tentang genealogi untuk analisa hubungan antar keluarga dan pewarisan tanah, dan tentang proses-proses sosial.

Ada 2 persfektif utama yang masih mendominasi pemikiran dalam ilmu-ilmu sosial. Pertama adalah positivisme yang berasal dari pemikiran Auguste Comte, dan Emile Durkheim. Kaum positivist mencari sebab-sebab gejala sosial dengan sedikit perhatian pada keadaan atau sikap subjektif individu. Dan yang kedua adalah perspektif fenomenologis, yang bersumber dari pandangan Max Weber. Kaum Fenomenolog mementingkan perhatian kepada pemahaman atas tingkah laku manusia melalui kerangka acuan si pelaku itu sendiri. Peneliti harus berusaha untuk memahami (verstehen) tingkah laku manusia melalui “kacamata” orang yang diteliti itu sendiri, yaitu bagaimana persepsi orang itu sendiri tentang gejala sosial, tentang lingkungan dan pandangannya terhadap dunia. Penelitian dalam tradisi positivisme mencari “fakta” dan “sebab” melalui survey dengan menggunakan kuesioner, inventori, ataupun analisa demografis yang menghasilkan data kuantitatif. Sehingga suatu gejala sosial dalam tradisi penelitian ini harus dapat diukur dan ukuran tersebut ditetapkan oleh peneliti. Sebaliknya, tradisi fenomenologi berusaha mencari pemahaman atau pengertian subjektif melalui metode kualitatif seperti participant observation (pengalaman terlibat), wawancara bebas, dan catatan pribadi. Di Indonesia, penelitian mengenai persoalan agraria masih dilakukan dengan menggunakakan pendekatan kuantitatif. Dalam hal ini, penulis menekankan, untuk lebih memadai, pendekatan tersebut perlu dilengkapi dengan memperbanyak dan menggencarkan penelitian-penelitian kualitatif.

Setelah pada bagian pertama menerangkan dasar-dasar metodologi penelitian dari bab 1 – bab 3, bagian kedua buku ini menerangkan tentang seluk-seluk penelitian agraria, mulai dari bab 4 terkait konsep, teori, dan perdebatan dalam studi agraria.  Dalam bab ini mengurai tentang agraria jika dipandang dari segi policy issue dimana terdapat sejarah tonggak pertama kebijakan land reform di dunia. Adalah Solon, seorang penguasa Yunani Kuno pada 594 SM yang melaksanakan kebijakan terkait pertanahan. Saat itu, Solon belum menggunakan istilah agraria, tetapi menggunakan istilah “seishachteia” yang artinya mengocok beban. Mengocok beban berarti ada beban atau hubungan yang tidak adil antara pemerintah dengan pengguna wilayah, antara pemerintah dengan pemegang kuasa wilayah, antara pemegang kuasa wilayah dengan pengguna tanah, antara pengguna tanah dengan penggarap, pemilik ternak, penggembala ternak, dan lain sebagainya. Kemudian, di Romawi pada 486 SM yang memunculkan undang-undang agraria (leges arariae).

Agraria berarti semua wilayah, dalam hal ini GWR (Gunawan Wiradi) menuliskan bahwa di Indonesia, istilah agraria adalah seperti apa yang tercantum dalam pasal 33 UUD 1945, pasal 33 “bumi, air, ruang angkasa” adalah hal yang mencakup agraria dimana terdapat hubungan agraris dengan subyek, yaitu tanah dengan lingkungan, manusia dengan tanah, manusia dengan tanaman, manusia dengan hewan, dan manusia dengan manusia.  Setelah Indonesia merdeka, permasalahan agraria adalah salah satu yang pemerintah ingin tuntaskan pada saat itu, sehingga dibentuk panitia agraria yang dipimpin oleh Soemitro Djojohadikusumo. Kepanitiaan tersebut mencatat bahwa kondisi agraris di Indonesia meliputi hubungan-hubungan subjek-subjek dengan tanah yakni, antara petani dengan buruh tani, petani dengan bukan petani, petani dengan perusahaan besar, petani dengan proyek-proyek pembangunan, proyek pembangunan dengan pemerintah. Sajogyo juga menuliskan dan menambahkan hubungan-hubungan tersebut. Yaitu hubungan antara petani dengan satuan lembaga desa atau adat, perusahaan dengan negara, lembaga adat dengan negara dan hubungan antar negara.

Persoalan struktur agraria juga dijelaskan. Struktur agraria menyangkut pembagian tanah, penyebaran atau distribusi, dan hubungan kerja. Kemudian terdapat beberapa isilah seperti land tenure dan land tenancy. Land tenure adalah hak atas penguasaan tanah, sedangkan land tenancy merupakan orang yang memiliki, memegang, menempati, menduduki atau menyewa bidang tanah. Dalam pendekatan ekonomi, land tenancy menyangkut hal-hal yang berhubungan penggarapan tanah.

Tata hubungan dalam struktur agraria bisa kapan saja berubah karena berbagai faktor yang mempengaruhinya, antara lain perubahan struktur politik, perubahan orientasi politik, perubahan kebijakan ekonomi, dan perubahan teknologi serta turunannya. Contohnya, berbagai UU agraria di Yunani dan Romawi Kuno menunjukkan bagaimana kebijakan agraria dilakukan sebagai upaya untuk merubah tata hubungan agraris yang sudah mapan. Dengan cara mengatur kembali atau merombak struktur penguasaan tanah yang dirasakan tidak adil dan kurang menguntungkan bagi anggota masyarakat yang termiskin, yakni melalui apa yang kemudian dikenal dengan sebutan land reform. Walaupun berpeluang mengarah ke hal yang sebaliknya. Misalnya ketika perubahan struktur dan orientasi politik Orde Baru yang telah membuat ketimpangan agraria di pedesaan tidak lagi sebagai sasaran pembaruan. Bahkan model pembangunan kapitalistik yang dijalankan oleh rezim Orde Baru justru kian memperlebar ketimpangan agraria tersebut.

Masalah agraria adalah masalah yang sudah digulati manusia semenjak awal peradabannya, yaitu ketika manusia sudah mulai hidup menetap dan bercocok tanam. Isu sentral masalah agraria mulai diangkat dan diperdebatkan serius pada abad XIX ke abad XX,  dengan dilatarbelakangi terjadinya “revolusi Eropa” di berbagai negara Eropa pada 1848. Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan terutama berasal dari para pemikir dan aktivis gerakan sosialisme. Karena dapat dikatakan saat terjadinya revolusi tersebut, tidak ada keterlibatan kaum tani, kemudian muncul pertanyaan, mengapa kaum tani sulit untuk digerakkan. Dalam hal ini Marx menjelaskan bahwa para petani di Perancis ibarat kentang di dalam karung. Tidak ada kesadaran justru menjadi latar belakang mengapa organisasi tani sulit terbentuk. Marx menuliskan bahwa petani sebagai sebuah kelas yang ia sebut peasantry.

Demikian juga debat agraria terjadi sebelum perang dunia pertama. Pada masa ini, berkembang gerakan populisme di Rusia pada awal abd XIX. Diinisiasi oleh dua orang Ekonom, Vorontzov dan Danielson yang pada saat itu memberikan argumen dan menganjurkan agar pembangunan di Rusia didasarkan pada pembangunan industri kecil pribumi yang tidak menghancurkan kaum tani pribumi, dan memandang masyarakat tani itu bersifat homogen, swasembada dan egaliter. Mereka percaya bahwa sosialisme pertanian dapat dibangun tanpa melalui tahapan kapitalisme. Argumen dari kalangan polulis tersebut mendapat respon dari kalangan penganut teori Marx, yaitu Lenin dan Plekhanov. Lenin dan Plekanov memandang bahwa kapitalisme sudah masuk ke pedesaan dan keberadaannya sudah tidak bisa dihindarkan lagi. Hal tersebut telah menimbulkan gejala diferensiasai yang luas, yakni terstratifikasinya masyarakat pedesaan yang dianggap homogen tersebut. Oleh Lenin, gejala diferensiasi diinterpretasikan sebagai “gejala transisi”, yang pada akhirnya akan bertransformasi menjadi suatu polarisasi yang menurut garis kelas sifatnya antagonistis, yaitu kelas petani kapitalis dan kelas proletar pertanian (buruh tani upahan bebas).

Debat akademis tersebut kemudian melahirkan implikasi politik saat mulai diperdebatkan di internal partai Sosialis Demokrat Jerman, yang pada saat itu partai tersebut juga kalah dan tidak mendapat dukungan dari masyarakat pedesaan. Kemudian muncul pertanyaan bagaimana untuk menggalang dukungan dari masyarakat pedesaan dan dalam hal ini agrarian question pertama-tama adalah political question. Perdebatan kemudian terjadi antara Rossa Luxemburg dengan Edward Bernstein. Bernstein menolak pandangan seperti, teori perjuangan kelas, menolak Historical determinism, dan melontarkan gagasan sosialieme evolusioner. Sementara Rossa memberikan bantahan yang ia tuliskan dalam bukunya berjudul Reformasi atau Revolusi.

Perdebatan-perdebatan tersebut mendorong Kongres Internalisonale II yang memutuskan dilakukannya penelitian khusus terkait masalah agraria. Karl Kautsky melakukan penelitian tersebut dan menyampaikan beberapa argumen analitis, yaitu, diferensiasi pedesaan terjadi tetapi bersifat kondisional, ekonomi tani tidak hilang sama sekali di tengah proses serbuan kapitalisme, de-peasantrization seperti yang Lenin ungkapkan memang telah terjadi, tetapi karena masuknya teknologi, dan bukan transformasi hubungan produksi. Ia menyimpulkan bahwa masuknya kapitalisme pedesaan telah menjadikan masyarakat tani terpinggirkan walaupun tidak lenyap sama sekali. Karakter yang cenderung konservatif ini yang sulit membuat mereka menjadi kekuatan progresif dan mudah dimanfaatkan dan dijadikan alat oleh para penguasa. Sehingga dalam hal ini Kautsky menyarankan strategi untuk menetralisir kaum tani agar tidak jatuh di bawah pengaruh musuh yang dapat memanfaatkan mereka untuk menentang gerakan sosialisme. Polemik debat akademis antara kaum Populis dan Marxis inilah yang kemudian dinamakan debat agraria klasik. Dan tidak hanya terjadi di Rusia, tetapi di Jerman, Inggris, dan Perancis.

Setelah perang dunia 1, Debat agraria juga terjadi oleh sekelompok intelektual yang dipimpin oleh A.V. Chayanov yang kemudian mengenalkan aliran neo-populis. Chayanov menghasilkan kesimpulan bahwa upaya modernisasi peasant society dapat dilakukan dengan integrasi vertikal dalam bentuk koperasi, dan setiap pemaksaan peningkatan modal, misalnya melalui kredit dapat menjadi bumerang sendiri bagi petani. Di lain pihak, pemikiran yang berseberangan dipimpin oleh Kritsman yang mengikuti pandangan Lenin. Kelompok ini mengajukan teori yang merefleksikan sudut pandang Marxian. Hal ini kemudian yang menjadi penanda perdebatan baru tentang isu lama  (agraria) di Rusia. Kemudian, perdebatan ini terhenti pada 1929 ketika Stalin berkuasa dan mulai memaksakan kolektivisasi di Rusia. Hampir semua ilmuan tersebut Stalin penjarakan dan kebanyakan dari mereka meninggal dalam penjara.

Selanjutnya, setelah ini ada debat agraria kontemporer antara penganut teori modernisasi dan teori artikulasi. Teori modernisasi memandang bahwa perkembangan kapitalisme sebagai suatu proses modernisasi, yakni mengubah masyarakat tradisional yang digambarkan bersifat homogen, statis, terbelakang, dan konservatif, menjadi masyarakat yang berciri sebaliknya melalui pembukaan isolasi dan penghapusan ekonomi subsisten usaha tani kecil dan mengintegrasikannya ke dalam ekonomi pasar nasional dan internasional.  Sedangkan teori artikulasi memandang bahwa bertahannya usaha tani kecil merupakan indikasi terjadinya keterkaitan antara moda produksi kapitalistik dan moda produksi non kapitalis yang dimungkinkan karena moda produksi non-kapitalis tunduk kepada kebutuhan fungsional kapital, misalnya tenaga kerja murah dan bahan mentah yang murah.

Setelah di bab 4 membahas konsep dan teori, dan perdebatan agraria. Pada bab ini, Wiradi menerangkan secara khusus terkait penelitian agraria. Bahwa, dalam hal ini, ada dua pendekatan yang dilakukan.  Yang pertama metode atas dasar hubungan teori tertentu, seperti, neopopulis, antropologi, studi genealogi, Marxis dan lain-lain. Kemudian pendekatan teknis seperti sampling frame, dan sampling unit.  Dalam agenda penelitian agraria, dapat dikategorikan berdasarkan pelaksana dan tujuannya yakni pemula, penulisan akademik, agenda penelitian untuk mendukung program reforma agraria dan agenda penelitian dalam konteks gerakan sosial. Beberapa pokok pertanyaan kunci juga turut membantu sebagai pedoman peneliti dalam meneliti. Seperti praktek dan ragam istilah lokal atau setempat, status dan kondisi tanah, pemilik tanah, siapa penggarap, jenis tanaman, dan aturan hubungan kerja.

Wiradi menuliskan bahwa ada beberapa topik penelitian agraria yang selama ini dilakukan di Indonesia. Diantaranya adalah inventarisasi peta tanah dan pajak kepemilikan, sebaran kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan, sifat-sifat fragmentasi tanah, sosial ekonomi dan keragamannya, kependudukan, mekanisme perolehan tanah, konversi penggunaan tanah, investasi, komposisi perilaku antara petani dengan penggarap, atau buruh tani, persepsi masyarakat setempat atau nilai budaya masyarakap tentang pengelolaan tanah, sifat, jenis, pola, dan luas sengketa dan konflik tanah, mekanisme penggunaan tanah, Reforma agraria, dan prinsip-prinsip hukum adat.

Sementara, untuk agenda penelitian demi mendukung program reforma agraria, penelitian memfokuskan pada penilaian dan syarat-syarat keberhasilan RA. Syarat-syarat tersebut adalah kemauan politik, pemahaman reforma agraria pada kalangan elit, dan rakyat, kemudian organisasi rakyat tani yang kuat,  dukungan militer, persoalan terpisahnya elit penguasa dengan elit bisnis, dan sejauh mana birokrasi yang rapi dan jujur. Dan dalam konteks gerakan agraria, penelitian dilakukan bukan sebagai kegiatan yang ekskluif, melainkan kegiatan yang sifatnya berjejaring atau kerjasama. Beberapa hal terkait penelitian agraria untuk kepentingan gerakan sosial seperti hal yang menyangkut bentuk, pola, luasnya jaringan dan partisipasi rakyat miskin dan gerakan, persepsi atau tingkat pemahaman jaringan tentang reforma agraria, pola dan gaya kepemimpinan tiap kelompok dan golongan,  dan program kerja dari jaringan. Sedangkan topik yang relevan adalah konflik agraria. Dalam penelitian konflik agraria, beberapa informasi yang diperlukan adalah akar masalah konflik, pemicu konflik, pelaku dan sikap-sikapnya, proses dan kronologinya, outcome, dan korban dari konflik agraria. Kemudian di bab selanjutnya, Wiradi menuliskan pengalamannya melakukan beberapa penelitian dan teknis-teknis penulisan laporan penelitian.

Rumitnya permasalahan agraria terkhusus di Indonesia memang harus dipahami secara menyeluruh dengan penelitian-penelitian agraria. Buku ini merupakan buku dasar untuk memahami praktek penelitian agraria, baik dari sisi konsep dan teknisnya. Oleh karena itu, sangat berguna bagi praktisi pegiat agraria, akademisi, pemerintah dan kalangan gerakan sosial lainnya. Salam