Reviuw Buku: Orang Indonesia dan Tanahnya (Cornelis Van Vollenhoven)

Judul                                  : Orang Indonesia dan Tanahnya

Penulis                               : Cornelis Van Vollenhoven

Penerbit                             : STPN Press, Sajogyo Intitute, Tanah Air Beta, Huma

Tahun Terbit                      : 2013

Halaman                            : 179

 

Pada awalnya buku orang Indonesia dan tanahnya merupakan pamfelt akademik yang diterbitkan oleh Cornelis Van Vollehoven untuk menentang rancangan amandemen pasal 62 Kontitusi Negara Belanda 1854 (Regeringserglement 1854), yang pada saat itu diusulkan oleh GJ Nolst Trenite, agar menghapus klausul perlindungan hak-hak masyarkat pribumi di Hindia Belanda. Kemudian kembali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari teks aslinya yang berjudul De Indonesier en Zijn Ground untuk mengingatkan generasi sekarang pada aspek awal tentang hukum adat Indonesia.

Van Vollenhoven menjabarkan banyak sekali perbedaan soal urusan pengelolaan dan kepemilikan tanah antara Belanda dan Indonesia. Bila dilihat secara hukum dalam Kitab Undang-Undang Perdata Belanda (Burgerwlijk Wetboek), dikatakan seseorang akan memperoleh Hak Mengambil Manfaat Dari Tanah (Genotrecht) bila sifatnya sementara, dilihat dari perspektif hak paling lama dan sejarah pembukaan lahan.

Selanjutnya ada Hak Milik Pribumi (Inslandech Bezitrech) jika pembukaannya bersifat tetap, dan merupakan hak yang paling penting. Ada juga hak serupa disebut Hak Mengusahakan Tanah (Bouwrecht/Bewerkingrech) jika dilakukan di daerah swapraja, dan merupakan bentuk tertekan dari yang sebelumnya.

Definisi dari status tanah yang diungkapkan di atas terdapat dalam pasal 62 Regeeringsreglement 1854. Namun masih ada saja orang-orang yang salah mengartikannya, yang dalam prakteknya hukum adat orang Indonesia sering berpatokan pada Groundeigendon dalam Burgerwijk Wetboek yang sangat jelas tidak dapat dihubungkan. Groundeogendum tidak bisa dikatakan Hak Atas Tanah Yang Dikerjakan Secara Tetap, sebab di Indonesia tidak terdapat hak semacam ini, karena adanya batasan-batasan adat yang berlaku. Di beberapa daerah ada Sistem Ladang Berpinda-Pindah (Wisselvallige Bouvelden) dengan cara menebang hutan dan menanam bahan makanan. Ketika sudah panen satu sampai dua kali, ladang itu kemudian ditinggalkan.

Pembatasan-pembatasn adat (Adatrestricties) di berbagai daerah seperti di Sumatera dan Jawa, ada yang kuat (Tapanuli, Minangkabau), ada juga yang lemah (Aceh, Jawa Barat) dengan hak Eigendom-nya (Bevijd Oostersch Eigendomsrecht). Pembatasan adat tersebut akibat dari hukum yang sudah sangat tua, yang meliputi wilayah Indonesia dan bersifat keagamaan, disebut dengan Hak Ulayat (Beschikhingsrecht). Merupakan hak tertinggi atas tanah di Indonesia yang dimiliki oleh suku (Stam), desa atau gabungan desa.

Dalam perkembangannya, Hak Ulayat dapat menjadi lemah dengan adanya gejala makin maju dan bebas usaha pertanian, maka makin lusuh Hak Ulayat dengan sendirinya. Dengan begitu Hak Ulayat (Injeklemde Inlandich Bezitrecht) berkembang menjadi bebas (Inlandsch Bezitrecht), semacam Eigendom bersifat Indonesia. Pada prosesnya, pemerintah bekerja sama dengan petani-petani dengan mengeluarkan Dekrit yang mengapuskan hak Ulayat, tampa mengingat kematangan suatu masyarakat akan menimbulkan kekacauan. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut bahwa petani Indonesia berhak memperoleh persamaan dalam perlindungan hukum, seperti petani-petani Belanda.

Pemerintah dan parlemen Belanda telah berusaha untuk memperbaiki situasi masyarakat pribumi, namun tidak mampu memperbaiki kondisi pertanian penduduk itu sendiri. Celakanya, pemerintah hanya mempunyai tiga pengertian hukum saja tentang hak-hak tanah orang Indonesia sebagai berikut : 1) Hak Pribumi yang dapat diwariskan (Er Telijk Individueel Bezit), 2) Hak Komunal (Communal Bezit) 3) Hak Milik Komunal yang dipakai secara bergiliran (Gebruiksaandelen In Communal Bezit), mereka berkesimpulan selain dari ketentuan tersebut maka harus dihapuskan.

Pada prakteknya terdapat tuntutan-tuntutan dalam kepemilikian lahan yang harus dibatasi, juga tuntutan tentang kadaluarsa. Persoalan ini dijawab dengan mengeluarkan dekrit berbentuk perundang-undangan dengan yurisprudensi, maupun peraturan swapraja  (Zelfbestuursverordening). Namun terdapat permasalahan apabila pemerintah yang mengeluarkan dekrit tidak memperhatikan kesiapan masyarakat yang menerimanya. Pada kenyataannya apa yang dihasilkan tidak memuaskan.

Dalam peraturan-peraturan Agraria misalnya yang diperuntukan di Sumatera Barat (1915) dan Manado (1918), pemerintahan hanya menggunakan empat klasifikasi atau model Jawa yang bertentangan artinya dengan daerah dimaksud. Misalnya di Lombok memakai Communal Bezit yang kemudian menjadi kacau. Para birokrat menganggap tanah milik komunal bukanlah Bezitrech. Di Sumatera Barat hak-hak Ulayat desa juga sawah tidak dimasukan ke dalamnya. Begitu juga dengan soal-soal pengasingan tanah dan pegadaian dengan pemerintah desa. Di Manado, Hak Ulayat dari desa/distrik dan Hak Penguasaan (Bezitrech) sama sekali tidak dibedakan.

Upaya mengatasi permasalahan yang ditemukan dalam pelaksanaan peraturan ini, dimulai dari Fransen Van De Putte secara politik tahun 1870 menginstruksikan agar orang-orang Jawa dan Madura memiliki bukti-bukti tertulis atas tanahnya. Usaha berikutnya ialah dengan melakukan penelitian untuk mengumpulkan data yang banyak (de verzamelaars), namun penelitian tersebut masih terperangkap dalam empat kategori model Jawa yang bermasalah itu. Kemudian diadakan upaya pengukuran tanah untuk Landrate, bukan penentuan batas-batas tanah dan penetapan hak-hak. Hal yang terakhir adalah membebaskan hak-hak penduduk desa dari jaring-jaring milik komunal. Semuanya tidak menghasilkan perubahan yang signifikan

Pada tahun 1870 dan 1875 untuk luar Jawa dikeluarkan pernyataan Domein, yang ditafsirkan dalam 4 poin. Pada poin terakhir menyebutkan “ Semua tanah yang di atasnya tidak dapat dibuktikan adanya hak eigendom barat, hak eigendom agraris, hak egendom timur, ataupun juga hak milik pribumi yang masih melekat pada “Hak Ulayat masyarakat hukum adat.” Pernyataan ini menjadi pemantik dari kekacauan pengertian, sebab setelahnya keluar definisi lain yang bertentangan satu sama lain dari peraturan 1877, 1878, 1888 di Sumatera, Manado, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Pernyataan Domein ternyata gagal, karena menganggap semua tanah pertanian sebagai sebuah aktiva (harta) milik badan hukum Hindia Belanda, anggapan berdasarkan teori yang sudah tua/usang.

Tahun 1875 keluar sebuah rancangan kebijakan dari seorang Gubernur Jenderal bernama Baud tentang tanah-tanah yang tidak dibudidayakan dan juga soal pembukaan tanah. Meskipun peraturan ini cukup sempurna, namun ia telah mengkesampingkan aturan-aturan dari hukum adat.

Muncul masalah baru terhadap peraturan atas tanah-tanah yang tidak dibudidayakan, di mana para birokrat selalu saja berkeras hati menurut pengertian mereka sendiri. Mereka menganggap bahwa hak-hak orang Indonesia atas tanah-tanah yang tidak dibudidayakan itu masih tidak pasti (Onvast), terus berubah (Veranderlijk), palsu (verkeerd). Maka sebagai solusi dari pada itu semua dikeluarkan istilah yang berkesan teguh, tidak berubah-ubah dan bersifat tegas.

Tahun 1894 menteri Mr. W.K. Baron Van Dedem mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa pernyataan domein atas tanah-tanah yang tidak dibudayakan di pulau Sumatera adalah sebuah anggapan yang tidak perlu dan sangat membatasi hak-hak penduduk, sehingga harus secepat-cepatnya diubah bentuknya. Tapi relasi para birokrat malah menolak mentah-mentah surat itu, mereka beranggapan lebih paham persoalan di lapangan, dari pada seorang menteri jajahan ketahui.

Semua fakta-fakta yang diungkapkan di atas ini sebelumnya, pada kenyataanya telah diabaikan dalam revisi  pasal 62 Regeringserglement. Van Vollenhoven pada kesimpulannya memberikan apa yang seharusnya dilakukan dalam proses ini. Ia mengkritik perilaku sinis serta keras kepala dari perjabat Tweede Kamer dan Birokrat yang berpikiran sempit, dan lebih mementingkan arah politik agraria di Hindia Belanda. Ia pun menganjurkan untuk menghapuskan Domein Negara, dan menegaskan bahwa hal tersebut tidak akan menghilangkan bangunan dasar perundang-undangan agraria. Selanjutnya dalam direksi kata ayat 3 ditambahkan pelarangan pemberian tanah dalam bentuk eigendom. Dan memberikan akses yang menjamin keadilan terhadap hak-hak orang Indonesia. (FH)